TEKNOLOGI PENDIDIKAN

APLIKASI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN: MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Peningkatan mutu pendidikan tampaknya masih merupakan isu sentral di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah ini sudah lama dicoba diatasi dengan berbagai cara dan upaya, namun hasilnya belumlah optimal. Teknologi Pendidikan yang merupakan bagian dari pendidikan, yang berkepentingan dengan segala aspek pemecahan masalah belajar manusia melalui proses yang rumit dan saling berkaitan, juga ikut serta berupaya meningkatkan mutu pendidikan melalui cara-cara yang khas (Prawiradilaga, dkk, 2008:2).

Pemerintah dalam hal ini Diknas memang terus berupaya melakukan perbaikan terhadap mutu pendidikan ini. Ini terlihat dari banyaknya program-program perbaikan yang terus digulirkan. Hanya saja, perbaikan yang dilakukan lebih banyak pada sisi makronya saja, yaitu pada kurikulum dan manajemen sekolah. Paling tidak dalam tahun-tahun terakhir ini ada dua perubahan yang dilakukan, yaitu penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), meskipun keduanya tidak memberikan gambaran yang jelas dalam penerapan di lapangan.

MBS misalnya yang diharapkan dapat menjadikan sekolah sebagai lembaga yang mandiri dalam pengolahan keuangan dalam rangka menghasilkan sekolah yang berkualitas, berubah menjadi upaya menciptakan persaingan antarsekolah yang pada akhirnya lebih banyak memberatkan orang tua siswa. Sementara mutu pendidikan tidak mengalami perubahan signifikan dengan “label” yang dipasangnya (Prawiradilaga, dkk, 2008:59).

Perubahan harus dilakukan bila kita ingin benar-benar memperbaiki mutu pendidikan kita, sehingga urutan pendidikan kita tidak lagi berada di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 108 di dunia (Prawiradilaga, dkk, 2008:60).


B. Permasalahan

Dari latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

a. Apakah itu Mutu Pendidikan?

b. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan?

c. Apakah itu Teknologi Pendidikan?

d. Bagaimanakah Konsep MBS menjadi salah satu bentuk aplikasi teknologi pendidikan dalam peningkatan mutu?


A. TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui definisi mutu pendidikan.

b. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi masalah peningkatan mutu pendidikan.

c. Mengetahui definisi teknologi pendidikan.

d. Mengetahui bahwa MBS adalah salah satu aplikasi teknologi pendidikan dalam peningkatan mutu.

B. MANFAAT

Penyusunan makalah ini bermanfaat secara:

a. Teoritis: untuk mengkaji MBS adalah salah satu aplikasi teknologi pendidikan dalam peningkatan mutu.

b. Praktis, yang dapat bermanfaat bagi mahasiswa supaya memahami pengetahuan mengenai MBS adalah salah satu aplikasi teknologi pendidikan dalam peningkatan mutu.

PEMBAHASAN

A. Mutu Pendidikan

a) Mutu

Dalam pengertian umum, mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, berupa barang maupun jasa. Di sisi lain mutu merupakan gambaran karekteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Harvey dan Green (1993 dalam Porter, 1994) mengartikan definisi mutu sebagai a relative concept which the context and mean diferrent things to different people. Hal ini karena pada kenyataannya orang yang sama akan mungkin akan menerapkan konsep yang berbeda pada saat lain. Secara teoritis, ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami arti mutu. Pertama, mutu mencerminkan suatu karekteristik yang dimiliki. Dalam sudut pandang ini, sesuatu yang yang bermutu dipandang sebagai sesuatu yang excellent/valuable dan mutu sama sekali tidak mempunyai apa yang disebut evaluation sense (Margetson, 1990). Pada pendekatan kedua yang disebut pendekatan matafisik (metaphysical belief), mutu dipandang sebagai sesuatu yang bisa diukur. Hal ini karen, dalam memandang mutu bisa dibedakan secara absolut antara fakta-fakta yang dikaitkan dengan analisis secara deskriptif dan nilai-nilai yang dikaitkan dengan analisa secara evaluatif (Rivai, 2009:711).


b) Mutu Pendidikan

Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup pada masukan (input) proses, luaran (output) dan dampaknya.

1. Mutu masukan (input), dampak dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

a. dari kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha dan siswa;

b. memenuhi atau tidaknya kriteria masukan berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana sekolah, dan lain-lain;

c. memenuhi atau tidaknya kriteria input yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan perundang-undangan, struktur organisasi sekolah, deskripsi kerja/tugas, rencana, dan program.

d. input yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan dan cita-cita, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah.

Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input, makin tinggi tingkat kesiapan input makin tinggi pula mutu input tersebut.

2. Mutu proses pendidikan mengandung makna bahwa kemampuan sumber daya sekolah mentransformasikan multi jenis masukan dan situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu bagi peserta didik, hal tersebut antara lain: derajat kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, dan kepuasan. Proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan proses-proses lainnya.

Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasiaan dan penyerasian serta pemaduan input sehingga mampu menciptakan situasi belajar yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar memberdayakan peserta didik.

3. Output pendidikan merupakan kinerja sekolah, kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/prilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur mutunya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, mutu kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Dikatakan bermutu apabila prestasi belajar menunjukkan prestasi belajar menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam:

1) prestasi akademik seperti nilai ulangan umum, EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik;

2) prestasi non akademik, misal: Imtaq, kejujuran, kesopanan, olahraga , keseniaan, ketrampilan, kejuruan dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya (Rivai Murni, 2009:711).

Dari uraian masing-masing komponen dalam pendidikan tersebut maka dapatlah dipahami untuk menilai sekolah yang memiliki standar mutu yang baik tidaklah instan dan mudah sebab dibutuhkan keterlibatan masing-masing unsur tersebut mulai dari input, proses dan ouput, proses yng sinergis antar berbagai elemen, wujud kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa input, proses dan ouput sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Semua unsur tersebut harus berjalan seirama dan saling mendukung antara unsur yang satu dengan yang lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikan.


B. Faktor-Faktor Masalah Mutu Pendidikan di Indonesia

Dari berbagai pengamatan dan analisis, Rivai (2008:139-140) dalam buku Education Management menerangkan sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata:

1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-ouput analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila semua input (masukan yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki, pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru pengadaan buku dan alat pelajaran dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataannya, mutu pendidikan yang diharapkan tidak akan terjadi. Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan ouput pendidikan.

2. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokrat sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinati birokrasi di atasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

3. Peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua murid dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah tergantung pada guru. Dikenalkan pembaharuan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan.

Di sekolah tersebut, partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barang/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua murid, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stake holder).


C. Konsepsi Teknologi Pendidikan

Konsepsi teknologi pendidikan dapat kita pahami melalui pendekatan teknologi atau pendidikan. Melalui pendekatan teknologi diartikan sebagai teknologi yang diterapkan dalam bidang pendidikan.

Pengertian teknologi sendiri sangat luas dan beragam. Ellul (1967:xxv) mendefinisikan teknologi sebagai keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisensi dalam setiap bidang kegiatan manusia. Dengan demikian teknologi pendidikan teknologi harus memiliki ciri efisiensi itu.

Definisi yang dibuat Galbraith (1967) tentang teknologi masih sangat populer hingga kini, yaitu aplikasi sistematik sains atau pengetahuan lain dalam tugas praktikal. Bila definisi ini diterapkan dalam dunia pendidikan maka teknologi pendidikan merupakan aplikasi sistematik sains dan pengetahuan lain dalam tugas kependidikan. Definisi ini terlalu luas, karena dengan demikian semua tugas kependidikan dapat dianggap sebagai bidang teknologi pendidikan.

Definisi konseptual teknologi pendidikan adalah sebagai berikut:

Teknologi pendidikan merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar manusia.(Association Educational Communication and Technology/AECT, 1986)

Teknologi instruksional (sebagai bagian teknologi pendidikan) merupakan cara yang sistematik dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajarmengajar untuk mencapai tujuan khusus yang didasarkan pada penelitia terhadap belajar dan komunikasi pada manusia, serta dengan menggunakan kombinasi sumber belajar insani dan non-insani, agar menghasilkan pembelajaran yang lebih efektif. (Commision on Instructional Technology, 1970)

Teknologi pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan usaha memudahkan proses belajar dengan ciri-ciri khas 1) memberikan perhatian khusus dan pelayanan pada kebutuhan yang unik dari masing-masing sasaran didik, 2) menggunakan aneka ragam dan sebanyak mungkuin sumber belajar, dan 3) menerapkan pendekatan sistem (Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan, Yogyakarta, 1980).

Konsep pendidikan sendiri mempunyai arti yang luas. Ia merupakan keseluruhan proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan berbagai bentuk perilaku lain yang mempunyai nilai positif terhadap lingkungan tempat hidupnya. Apabila proses itu sengaja dikelola agar dapat terbentuk perilaku tertentu dalam kondisi tertentu maka proses itu disebut pembelajaran/instruksional (AECT,177:56) (Miarso, 2011:76-77)

Aplikasi Teknologi Pendidikan

Apabila konsep atau pengertian teknologi pendidkan kita analisis, kita akan memperoleh pedoman umum aplikasi sebagai berikut:

1. Memadukan berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi, komunikasi, manajemen, rekayasa, dan lain-lain secara bersistem.

2. Memecahkan masalah belajar pada manusia secara menyeluruh dan serempak, dengan memerhatikan dan mengkaji semua kondisi dan saling kaitan di anataranya.

3. Digunakan teknologi sebagai proses dan produk untuk membantu memecahkan masalah belajar.

4. Timbulnya daya lipat atau efek sinergi, di mana penggabungan pendekatan dan atau unsur-unsur mempunyai nilai lebih dari sekedar penjumlahan. Demikian pula pemecahan secara menyeluruh dan serempak akan mempunyai nilai lebih dari pada memecahkan masalah secara terpisah (Miarso, 2011:78).


D. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah Merupakan Aplikasi Teknologi Pendidikan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan

Konsep ini diperkenalkan oleh teori Effective School yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmon, 1979). Larry Kuehn dalam Eric Clearinghouse on Education Management (1999) dalam Danim (2006:33-34) menerangkan bahwa terdapat banyak nama untuk MBS atau SBM. Selain populer dengan sebutan School Based Management atau School Site Management maka secara garis besar MBS dapat didefinisikan sebagai suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan substaintabilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Di Amerika Serikat MBS merupakan sebuah strategi baru yang paling populer yang muncul sebagai reformasi sekolah (School Reform Movement) pada tahun 1980-an. Istilah reformasi mengandung makna perubahan bentuk atau model pengelolaan sekolah dari format sentralistik ke desentralisasi, dari mekanisme kerja sekolah yang banyak diatur oleh institusi di atasnya ke format kerja sekolah yang secara nyata mengatur sendiri.
Dalam model-model sekolah yang merupakan pendekatan MBS dalam pengelolaanya, guru dan staf lainya dapat menjadi efektif karena ada partisipasi mereka dalam membuat keputusan. Dengan begitu, rasa kepemilikan terhadap sekolah menjadi lebih tinggi dan pengunaan sumberdaya pendidikan lebih optimal sehingga di peroleh hasil yang lebih baik. Selanjutnya, Kepala Sekolah akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap kinerja di lingkungan sekolah, dan beban kerja kantor pusat dan daerah dapat dikurangi dan hanya berkosentrasi pada peranan mereka dalam melayani sekolah (Supriadi, 2001:160)
Dalam MBS, pihak sekolah, masyarakat, dan pemerintah mempunyai peranan masing-masing yang saling mendukung dan sinergis atau dengan yang lainya. Sekolah berada pada bagian terdepan dari proses pendidikan, sehinga menjadi bagian utama dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

Masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami, membantu dan mengontrol proses pendidikan, sedangkan pemerintah berperan sebagai peletak kerangka dasar kebijakan pendidikan serta menjadi fasilitator yang akan mendukung tercapainya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. DEPDIKNAS (2001:21) menetapkan bahwa: fungsi-fungsi yang dapat disentralisasikan ke sekolah adalah: (1) perencanaan dan evaluasi program sekolah; (2) pengelolaan kurikulum; (3) pengelolaan proses belajar mengajar; (4) pengelolaan ketenagaan; (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan; (6) pengelolaan keuangan; (6) pelayanan siswa; (7) hubungan sekolah dan masyarakat; dan (8) pengelolaan iklim sekolah. (http://wahyumirza.blogspot.com/2011/03/pelaksanaan-manajemen-berbasis-sekolah.html).

Model MBS yang diterapkan di Indonesia adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Konsep dasar MPMBS adalah adanya otonomi dan pengambilan keputusan partisipatif, artinya MPMBS memberikan otonomi yang lebih luas kepada masing-masing sekolah secara individual dalam menjalankan program sekolahnya dan dalm pengambilan keputusan harus melibatkan partisipasi setiap konstituen sekolah seperti: murid, guru, tenaga administrasi, orang tua, masyarakat lingkungan, dan para tokoh masyarakat (Anonim, MPMBS, Direktorat SLTP DEPDIKNAS, 2001) dalam Rivai, 2008:150).
Dari uraian di atas bahwa MBS merupakan salah satu aplikasi teknologi pendidikan dalam peningkatan mutu pendidikan seperti yang termaktub di dalam pedoman umum.

LANDASAN FILOSOFIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan “menentukan” model manusia yang akan dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya perananan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, setta perkembangan ilmu dan teknologi.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis (Sukmadinata, 2011:38-39).

Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan dan kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah adalah cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat dapat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Henderson (1959) mengemukakan “populary philoshopy means one’s general view of life of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian, maka jelas setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaa-pertanyaan pokok seperti: Hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang bagaimana yang harus diciptakan melalui ikhtiar pendidikan? Apa hakikat pengetahuan yang harus dipelajari dan dikaji siswa? Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu berlangsung?
Sebagai suatu landasan fundamenatal, filasafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filasafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu. Kedua, filasafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
a.    Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun ketrampilan. Hummel (1977), mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan:
1.      Autonomy. Gives individuals and groups the maximum awareness, knowledge and ability so that they can manage their personal and collective life to the greates possible extent.
2.      Equity. Enable all citiens to participate i cultural and economic life by coffering them an equal basic education.
3.      Survival. Permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generatioan, but also guide education towards mutual understand and towards what has become  a worlwide realizations of common destiny.
Tujuan pendidikan harus mengandung ketiga hal di atas. Pertama, autonomy, artinya memberikan kesadaran, pengetahuan dan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, equity, artinya pendidikan harus dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi. Ketiga, survival, artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketegantungan antara manusia.
Pengembangan ketiga aspek itu diarahkan agar kehidupan manusia lebih baik, lebih bermakna, bertanggung jawab, lebih bermartabat dan lebih beradab, sehingga pada gilirannya setiap manusia terdidik dapat mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau perlu mengubah kebudayaan yang dianggapnya tidak relevan dengan pandangan hidup atau nilai-nilai yang dimilikinya.
Filsafat sebagai sistem nilai (value system) harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan. Artinya, pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa yang diharapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa ke mana anak yang kita didik itu? Apa yang harus dikuasai mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu erat kaitannya dengan filasafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangakan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakat sendiri, oleh sebab itu dalam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.
Di Indonesia, sistem nilainya yang berlaku adalah Pancasila, oleh sebab itu membentuk manusia yang Pancasilais merupakan tujuan dan arah dari segala ikhtiar berbagai level dan jenis pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum yang disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Menurut Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan ke dalam tiga klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Setiap negara atau masyarakat akan memaknai ketiga bidang pengembangan itu sesuai dengan sistem nilai yang berlaku. Demikian juga halnya dengan Indonesia. Sebagai suatu bangsa yang memiliki sistem nilai sendiri, yakni Pancasila, maka ketiga bidang itu mestinya dibingkai oleh kebenaran dan nilai-nilai pancasila. Kecerdasan yang harus dikembangkan, sikap yang harus ditanamakan, dan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap anak didik kita tidask terlepas dari nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sebagai sistem nilai, Pancasila menjadi bingkai dari tujuan dan pelaksanaan pendidikan.

b.   Filsafat sebagai Proses Berpikir
Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Namun, apakah berpikir dapat dikatakan berfilsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah berpikir memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba, seperti dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis adalah berpikir yang radikal, sistematis, dan universal. Berpikir yang radikal (radical thinking), yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir itu tidak separuh-separuh, tidak berhenti di jalan tetapi terus sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis adalah berpokir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggungjawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal, artinya tidak berpikir secara khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat adalah orang berpikir secar mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Sedangkan menurut filsafat Dewey, proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata. Dalam filsafat Dewey kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the making, yaitu adanya persesuaian dengan kenyataan (Sukmadinata, 2011:40).
Pandangan tentang hakikat kebenaran ternyata berbeda-beda. Menurut Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksitensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), dan aksiologi nilai-nilai). Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda tentang cabang-cabang filsafat itu.
Aliran idealisme memandang bahwa kebenaran itu datangnya dari “Yang Maha Kuasa”. Manusia tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakiannya. Apa yang dilihat manusia tentang kenyataai itu hanya bayang-bayangnya. Seperti halnya kita bercermin. Muka kita ada dalam cermin seperti aslinya; akan tetapi akan, apakah manakala tidak ada cermin muka kita juga ikut tidak ada? Tidak bukan? Muka kita tetap ada, yang tidak ada hanya bayangan saja. Inilah hakikat kebenaran dan kenyataan menurut aliran idealisme. Manusia hanya mampu kebenaran yang sebetulnya sudah ada. Kebenaran yang itu hanya sebagian kecil saja. Sebenarnya, banyak kebenaran yang tidak munkin manusia mampu menangkapnya.
Pandangan aliran idealisme tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh tentang pengetahuan serta nilai-nilai atau norma serta terhadap aspek-aspek lain. Tentang pengetahuan misalnya, aliran idealisme menganggap bahwa pengetahuan itu datang dari kekuasaan Yang Maha Tinggi seperti telah ditemukan oleh para pemikir terahulu. Demikian juga tentang norma seluruhnya telah diatur oleh Yang Maha” itu. Manusia tidak perlu meragukan kebenaran selain harus mematuhinya.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itulah, pengetahuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra. Dengan demikian, menurut aliran ini, sesuatu itu merupakan kebenaran manakala bisa dubuktukan melalui pengalaman, manakala tidak dapat dibuktikan bukanlah kebenaran. Mengenai norma atau nilai, menurut pandangan realisme disesuaikan dengan penemuan ilmiah. Norma dapat berubah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda dengan kedua aliran di atas, alira pragmatisme berpendapat bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia dengan manusia lainnya. Berkat hubungan sosial itu manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya. Pengetahuan diperoleh dari pengamatan dan konteks sosial yang berguna untuk kehidupan masyarakat. Karena itu yang menjadi ukuran adalah kehidupan sosial, maka norma juga dapat berbeda menurut kebutuhan masyarakat.
Aliran eksistensialis mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, setiap individu bisa memiliki norma yang berbeda.
Pandangan yang berbeda setiap aliran filsafat terhadap cabang-cabang filsafat yang menjadi objek pembahasannya dapat mempengaruhi isi dan strategi kurikulum. Kurikulum yang cenderung bersifat idealis akan berbeda denga kurikulum yang berorientasi kepada aliran realis, pragmatis, dan eksistensialis, emikian juga sebaliknya. Namun demikian, untuk setiap pengembangan kurikulum tidak perlu fanatik dengan satu aliran saja. Bila saja kurikulum yang dihasilkan merupakan gabungan dari setiap aliran itu. Sebagai contoh, kurikulum yang bermuatan pendidikan moral atau pendidikan agama, bisa saja berorientasi kepada aliran idealis; namun untuk kurikulum yang bermuatan natural science cenderung ke arah aliran filsafat realisme.



DAFTAR RUJUKAN

Sanjaya, W. (2008). Kurikulum Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP). Jakarta: Kencana.
Sukmadinata, N. S. (2011). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Rosdakarya.
















































LANDASAN FILOSOFIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal ...