Kamis, 01 Maret 2012

LANDASAN FILOSOFIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan “menentukan” model manusia yang akan dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya perananan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, setta perkembangan ilmu dan teknologi.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis (Sukmadinata, 2011:38-39).

Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan dan kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah adalah cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat dapat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Henderson (1959) mengemukakan “populary philoshopy means one’s general view of life of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian, maka jelas setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaa-pertanyaan pokok seperti: Hendak dibawa ke mana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang bagaimana yang harus diciptakan melalui ikhtiar pendidikan? Apa hakikat pengetahuan yang harus dipelajari dan dikaji siswa? Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu berlangsung?
Sebagai suatu landasan fundamenatal, filasafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filasafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu. Kedua, filasafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
a.    Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun ketrampilan. Hummel (1977), mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan:
1.      Autonomy. Gives individuals and groups the maximum awareness, knowledge and ability so that they can manage their personal and collective life to the greates possible extent.
2.      Equity. Enable all citiens to participate i cultural and economic life by coffering them an equal basic education.
3.      Survival. Permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generatioan, but also guide education towards mutual understand and towards what has become  a worlwide realizations of common destiny.
Tujuan pendidikan harus mengandung ketiga hal di atas. Pertama, autonomy, artinya memberikan kesadaran, pengetahuan dan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, equity, artinya pendidikan harus dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi. Ketiga, survival, artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketegantungan antara manusia.
Pengembangan ketiga aspek itu diarahkan agar kehidupan manusia lebih baik, lebih bermakna, bertanggung jawab, lebih bermartabat dan lebih beradab, sehingga pada gilirannya setiap manusia terdidik dapat mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau perlu mengubah kebudayaan yang dianggapnya tidak relevan dengan pandangan hidup atau nilai-nilai yang dimilikinya.
Filsafat sebagai sistem nilai (value system) harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan. Artinya, pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa yang diharapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa ke mana anak yang kita didik itu? Apa yang harus dikuasai mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu erat kaitannya dengan filasafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangakan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakat sendiri, oleh sebab itu dalam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.
Di Indonesia, sistem nilainya yang berlaku adalah Pancasila, oleh sebab itu membentuk manusia yang Pancasilais merupakan tujuan dan arah dari segala ikhtiar berbagai level dan jenis pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum yang disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Menurut Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan ke dalam tiga klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Setiap negara atau masyarakat akan memaknai ketiga bidang pengembangan itu sesuai dengan sistem nilai yang berlaku. Demikian juga halnya dengan Indonesia. Sebagai suatu bangsa yang memiliki sistem nilai sendiri, yakni Pancasila, maka ketiga bidang itu mestinya dibingkai oleh kebenaran dan nilai-nilai pancasila. Kecerdasan yang harus dikembangkan, sikap yang harus ditanamakan, dan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap anak didik kita tidask terlepas dari nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sebagai sistem nilai, Pancasila menjadi bingkai dari tujuan dan pelaksanaan pendidikan.

b.   Filsafat sebagai Proses Berpikir
Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Namun, apakah berpikir dapat dikatakan berfilsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah berpikir memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba, seperti dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis adalah berpikir yang radikal, sistematis, dan universal. Berpikir yang radikal (radical thinking), yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir itu tidak separuh-separuh, tidak berhenti di jalan tetapi terus sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis adalah berpokir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggungjawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal, artinya tidak berpikir secara khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat adalah orang berpikir secar mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Sedangkan menurut filsafat Dewey, proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata. Dalam filsafat Dewey kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the making, yaitu adanya persesuaian dengan kenyataan (Sukmadinata, 2011:40).
Pandangan tentang hakikat kebenaran ternyata berbeda-beda. Menurut Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksitensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), dan aksiologi nilai-nilai). Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda tentang cabang-cabang filsafat itu.
Aliran idealisme memandang bahwa kebenaran itu datangnya dari “Yang Maha Kuasa”. Manusia tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakiannya. Apa yang dilihat manusia tentang kenyataai itu hanya bayang-bayangnya. Seperti halnya kita bercermin. Muka kita ada dalam cermin seperti aslinya; akan tetapi akan, apakah manakala tidak ada cermin muka kita juga ikut tidak ada? Tidak bukan? Muka kita tetap ada, yang tidak ada hanya bayangan saja. Inilah hakikat kebenaran dan kenyataan menurut aliran idealisme. Manusia hanya mampu kebenaran yang sebetulnya sudah ada. Kebenaran yang itu hanya sebagian kecil saja. Sebenarnya, banyak kebenaran yang tidak munkin manusia mampu menangkapnya.
Pandangan aliran idealisme tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh tentang pengetahuan serta nilai-nilai atau norma serta terhadap aspek-aspek lain. Tentang pengetahuan misalnya, aliran idealisme menganggap bahwa pengetahuan itu datang dari kekuasaan Yang Maha Tinggi seperti telah ditemukan oleh para pemikir terahulu. Demikian juga tentang norma seluruhnya telah diatur oleh Yang Maha” itu. Manusia tidak perlu meragukan kebenaran selain harus mematuhinya.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itulah, pengetahuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra. Dengan demikian, menurut aliran ini, sesuatu itu merupakan kebenaran manakala bisa dubuktukan melalui pengalaman, manakala tidak dapat dibuktikan bukanlah kebenaran. Mengenai norma atau nilai, menurut pandangan realisme disesuaikan dengan penemuan ilmiah. Norma dapat berubah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda dengan kedua aliran di atas, alira pragmatisme berpendapat bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia dengan manusia lainnya. Berkat hubungan sosial itu manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya. Pengetahuan diperoleh dari pengamatan dan konteks sosial yang berguna untuk kehidupan masyarakat. Karena itu yang menjadi ukuran adalah kehidupan sosial, maka norma juga dapat berbeda menurut kebutuhan masyarakat.
Aliran eksistensialis mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, setiap individu bisa memiliki norma yang berbeda.
Pandangan yang berbeda setiap aliran filsafat terhadap cabang-cabang filsafat yang menjadi objek pembahasannya dapat mempengaruhi isi dan strategi kurikulum. Kurikulum yang cenderung bersifat idealis akan berbeda denga kurikulum yang berorientasi kepada aliran realis, pragmatis, dan eksistensialis, emikian juga sebaliknya. Namun demikian, untuk setiap pengembangan kurikulum tidak perlu fanatik dengan satu aliran saja. Bila saja kurikulum yang dihasilkan merupakan gabungan dari setiap aliran itu. Sebagai contoh, kurikulum yang bermuatan pendidikan moral atau pendidikan agama, bisa saja berorientasi kepada aliran idealis; namun untuk kurikulum yang bermuatan natural science cenderung ke arah aliran filsafat realisme.



DAFTAR RUJUKAN

Sanjaya, W. (2008). Kurikulum Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP). Jakarta: Kencana.
Sukmadinata, N. S. (2011). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LANDASAN FILOSOFIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal ...